Pages

PTC

clix2idr

Minggu, 23 Januari 2011

Kloning Menurut Pandangan Islam


 

Sebenarnya peristiwa klon ini mirip dengan stek pada tanaman. Hanya saja, pada hewan --dan kemungkinan juga manusia-- yang digandakan hanyalah satu selnya yang lengkap (beserta DNA). Perbedaan dengan kelahiran biasa, pada kloning tidak ada proses pembuahan. Jadi tidak ada 'andil' dari pihak kedua, sekalipun pihak kedua itu menentukan bisa tidaknya sel donor berkembang. Sebab untuk bisa tumbuh, sel donor --sebelumnya dilemahkan dulu agar tidak membelah diri-- itu harus disatukan dengan sel telur pihak kedua. Tetapi untuk bisa bersatu, maka unsur gen sel telur itu dihilangkan dulu. Penyatuan sel donor dengan sel telur itu ternyata merangsang pertumbuhan. Ibarat kena strum, sel donor tiba-tiba aktif dan bersama sel telur tempatnya bersarang kemudian berproses melalui tahap-tahap seperti embrio biasa. Seminggu kemudian, pasangan itu dimasukkan ke rahim induk lain. Secara otomatis induk ketiga ini akan bunting, dan sebagaimana biasa, melahirkan bayi pada waktunya. Bayi itu kemudian berkembang hingga dewasa dengan sifat (fisik dan genetik) persis induk pertamanya.

Pada kasus kambing Dolly, salah satu hal yang masih meragukan adalah tentang kesehatan dan umurnya. Misalnya apakah umurnya akan panjang, mengingat sel donor diambil dari kambing berusia 6 tahun? Memang hingga 7 bulan Dolly sehat-sehat saja, tetapi mungkin ia akan menemui problem jenis penyakit baru yang membuatnya cepat mati. Hal ini masih menunggu penelitian lanjutan. Apalagi Dolly tersaring dari 227 kali percobaan yang menghasilkan 29 embrio berumur lebih dari 6 hari, dan ia satu-satunya yang bisa lahir hidup.

Secara teknis, mengklon hewan dan manusia sama saja. Karenanya begitu klon hewan berhasil, langsung datang tanggapan tentang kloning manusia. Persoalannya, apakah hal ini bisa sejalan dengan keyakinan manusia tentang penciptaan manusia sebagaimana disebutkan al-Qur'an?

Hal pokok yang disampaikan al-Qur'an mengenai penciptaan manusia --bisa lihat: Bibel, Qur'an, dan Sains Modern oleh Maurice Bucaille terbitan Bulan Bintang-- bahwa manusia diciptakan dari turaab (debu, tanah) kemudian dari nuthfah (mani, cairan yang mengalir), lalu 'alaqah (sesuatu yang melekat, gumpalan darah), kemudian dari mudhghah (segumpal daging) yang sempurna ataupun tidak sempurna keadaannya (QS al-Hajj: 5). Dalam urut-urutan proses embrio, pernyataan al- Qur'an itu tidak bisa dibantah. Tetapi mungkinkah kata 'tsumma min' (kemudian dari) pada ayat itu tidak menunjukkan proses melainkan merujuk pada alternatif? Bila mungkin, maka manusia bisa dicipta (langsung) dari mudhghah yakni daging yang secara genetik sudah lengkap, karena tafsiran ayat itu menyebutkan, manusia bisa dicipta dari tanah, dari mani, dari 'alaqah, maupun dari mudhghah. Dan bila demikian maka kloning mendapatkan jalan kesesuaian dengan al-Qur'an.

Pada surah al-Mukminuun: 14 dijelaskan, "Kemudian Kami jadikan nuthfah itu 'alaqah, lalu 'alaqah itu Kami jadikan mudhghah, lalu mudhghah itu Kami jadikan 'idhaamah (tulang- belulang), lalu tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging, lalu Kami jadikan ia makhluk yang lain." Ayat ini memperjelas urutan di atas sebagai proses, tetapi mengikutinya dengan keterangan bahwa setelah proses itu selesai barulah Dia (Allah) menjadikannya makhluk yang lain. Keterangan ini juga membuka peluang bisa berlangsungnya proses kloning, karena toh untuk menjadikannya makhluk atau bukan, tergantung Allah nanti setelah janin itu berupa daging bertulang.

Lalu pengertian nuthfah sendiri menurut Maurice, sebenarnya bisa bukan hanya 'mani', karena akar katanya menunjukkan arti 'mengalir', dan 'setetes kecil'. Pengertian 'mani' itu diambil karena ada ayat lain yang menyebutkan, "Bukankah dahulu ia berupa nuthfah, dari mani yang ditumpahkan?" (Al- Qiyamah: 37). Ada tersirat di sini, bahwa nuthfah itu merupakan 'bagian' atau saripati dari mani, yang pada ayat lain disebut dengan 'air yang hina'. Bila arti 'setetes cairan' yang diambil dalam konteks ini, maka cara kloningpun melewati fase 'setetes cairan.'

Tanpa bermaksud meligitimasi, pembahasan dengan cara ini perlu dikemukakan untuk memberikan peluang pembahasan dan penelitian lebih lanjut tentang teknologi kloning. Bagaimanapun teknologi itu telah dimulai, dan hampir mustahil untuk distop. Sementara tidak satu perkembanganpun di alam raya ini yang tidak mengikuti aturan Allah (sunnatullah). Jadi pasti, Allah telah menyediakan medianya, beserta keterangan-keterangan yang diperlukan untuknya. Menganggap cara itu sebagai bertentangan begitu saja dengan 'agama' (dalam arti umum) tentunya tidak bijaksana. Sebab hal ini menyangkut hidup mati makhluk, yang merupakan sesuatu sangat prinsip. Soal boleh tidaknya digunakan nantinya, itu urusan belakangan. Tetapi tentang bisa dilakukan atau tidak, tak perlulah dicegah eksperimennya. Ummat Islam tidak perlu khawatir bahwa teknologi kloning terhadap manusia akan memasuki 'wilayah' kekuasan Allah, karena sungguh tidak mungkin Allah akan tersaingi.

Persoalan lain yang mengganjal dalam kasus kloning manusia adalah faktor ruh, yang menurut al-Qur'an ditiupkan ke dalam janin pada saat berumur 120 hari. Apakah ruh yang dimiliki manusia hasil kloning sama dengan milik induknya? Tentang ruh memang manusia tidak diberi wewenang untuk membicarakan lebih lanjut. Tetapi menilik pada 'peniupan'-nya yang dilakukan tidak pada ketika terjadi pembuahan, maka kasus kloning masih bisa diterima. Bila Allah memang menghendaki, maka Dia --sesuai dengan yang telah difirmankan-Nya-- bisa meniupkan pada manusia kloning, ruh yang baru. Inilah yang tidak terjadi pada binatang, yang memang tidak dimintai pertanggungjawaban tentang hati nurani.

Bila demikian maka tidak ada jaminan bahwa manusia kloning akan menjadi manusia persis orang tuanya. Secara fisik dan genetik mungkin --termasuk soal bakat dan sifat dasar-- tetapi perilaku dan sifat-sifat lainnya tidak. Toh orang boleh saling mirip, namun tidak mungkin tabiatnya sama. Tetap ada peran nurani (ruh), dan ada pengaruh pendidikan serta lingkungan.

Manusia bukanlah hewan, yang ukurannya hanya fisik. Manusia memerlukan begitu banyak input untuk menjadi dewasa. Bila inputnya berbeda maka hasilnya juga akan berbeda. Sementara input itu sendiri terus berdatangan sepanjang ia hidup. Menilik pada kenyataan ini, pada hakikatnya, manusia kloning ataupun bukan tetap sama-sama memiliki kemungkinan berhasil atau gagal dibentuk hingga dewasa, sebagaimana manusia yang lain. Bila klon diartikan harus persis segala-galanya, maka bisa dikatakan, teknologi itu tidak akan berhasil diterapkan pada manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kawan-kawan, bagaimana kalau menurut kalian?